Cinta,
usia bukan sahabatnya, jenis kelamin bukan urusannya, semua orang dari segala
zaman pernah merasakan cinta, baik itu cinta pada surya, pada yang
mengandungmu, pada yang memberimu nafkah, pada dia pria terbaikmu atau pada dia
wanita tercantikmu, pada sahabat karib, atau pada Ia sang pencipta.
Cinta
itu bagai angin digeladak kapal, dapat dirasakan tapi tidak dapat dilihat, iya
terkadang seperti mentari, menghangatkan namun juga dapat menyilaukan, setiap
orang punya caranya sendiri untuk mencintai dan menggambarkan apa itu cinta,
entah itu menyakitkan. Tapi, menurut ia yang dimabuk asmara cinta itu selembut
sutera, entah itu seindah samudera tapi ternyata menghanyutkan.
Cinta
bisa jatuh kepada siapa saja, bahkan teman dekat. Dia yang tidak pernah kau
duga akan kau cinta. Saat mencintai kita hanya perlu memberi hati, tanpa perlu
berharap lebih dari apa yang kita beri. Saat kita memilih cinta berarti kita
harus menghargai apa yang disukai oleh orang yang kita cinta, meski kita tidak
harus menyukai hal itu. Cinta mengajarkan seseorang bagaimana untuk
memberanikan diri dan juga bagaimana menjadi sabar saat ditinggalkan sendiri.
Cinta tidak akan pernah membiarkan hati yang utuh menjadi luka. Namun, saat
cinta membuat patah hati, cinta terlihat begitu kejam dan menyakitkan.
Kekuatan cinta yang membangun dan menghancurkan
seseorang :
1.
Cinta yang
membangun
Kita
pasti sudah mengenal sosok mantan Presiden RI ke-3 yang memiliki kisah cinta
yang luar biasa, beliau adalah Bacharuddin
Jusuf Habibie atau yang sering kita kenal dengan sebutan B.J. Habibie. Kisah cinta beliau
terhadap Ibu Ainun memberikan
inspirasi bagi setiap orang. Mereka yang saling mencintai, menyanyangi, dan
mengikrarkan janji suci sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput.
Bapak
Habibie menulis surat cinta untuk istri tercinta setelah beliau meninggal. Ibu
Ainun meninggal tepat sepuluh hari setelah merayakan ulang tahun perkawinannya
yang ke-48. Ibu Ainun meninggal karena sakit kanker ovarium. Berikut isi surat
cintanya:
Sebenarnya ini bukan tentang
kematian, bukan itu. Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada
pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah
giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu. Tapi yang membuatku tersentak
sedemikian hebat adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan
kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku
menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak ditempatnya, dan tubuhku serasa
kosong melompong, hilang isi....
“Saya dilahirkan untuk Ainun dan Ainun dilahirkan
untuk saya”
......Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang
tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada air mata yang jatuh kali ini,
aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada
kenangan pahit manis selama kau ada, aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya
terlalu sebentar kau disini. Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu
sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang
baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi
kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta,
sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada. Selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku, selamat jalan, calon bidadari surgaku....
Sungguh romantis isi surat cinta
tersebut. Surat itu menggambarkan kesedihan Bapak Habibie atas kepergian istri
yang sangat ia cintai. Tidak ada lagi sosok wanita yang selalu mensupportnya,
menemaninya, dan menjaganya. Semasa hidupnya Ibu Ainun tidak pernah mengeluh
meski hidupnya susah, selalu mendampingi suami, bahkan rela meninggalkan profesinya
sebagai dokter demi selalu berada disamping Bapak Habibie dan menjadi
seorang ibu dalam keluarga.
Bapak Habibie mengakui, cintanya
begitu besar kepada Ibu Ainun yang telah menemani hari-harinya selama 48 tahun
40 hari. Bahkan, sekalipun Ibu Ainun telah tiada, cintanya tidak pernah luntur.
Salah satu kenangan yang tersimpan dari perjalanan bersama istrinya adalah
sepenggal doa cinta. Berikut adalah penggalan doa tersebut:
“Terimakasih Allah, Engkau telah
lahirkan saya untuk Ainun dan Ainun untuk saya. Terimakasih Allah, Engkau telah
pertemukan saya dengan Ainun dan Ainun dengan saya. Terimakasih Allah, tanggal
12 Mei 1962, Engkau nikahkan saya dengan Ainun dan Ainun dengan saya. Engkau
titipi kami bibit cinta murni, sejati, suci, sempurna dan abadi. Sepanjang masa
kami sirami titipan-Mu dengan kasih sayang, nilai iman, takwa, dan budaya. Kini
48 tahun kemudian, bibit cinta telah menjadi cinta yang paling indah, sempurna
dan abadi. Ainun dan saya bernaung dibawah cinta milik-Mu ini dan dipatri
menjadi manunggal sepanjang masa. Manunggal dalam jiwa, hati, batin, napas dan
semua yang menentukan dalam kehidupan. Terimakasih Allah, menjadikan kami
manunggal karena cinta abadi yang suci dan sempurna. Pertahankan dan
peliharalah kemanunggalan kami sepanjang masa. Berilah kami kekuatan untuk
mengatasi segala permasalahan yang sedang dan masih akan kami hadapi. Ampunilah
dosa kami dan lindungilah kami dari segala pencemaran cinta abadi kami.”
Kisah
cerita ‘true story’ novel ini patut
direkomendasikan menjadi sebuah inspirasi. Meski hanya memuat sekelumut kisah
perjalanan rumah tangga Habibie dan Ainun, penonton justru bisa belajar banyak
tentang arti cinta dari situ. Saling setia, percaya dan satu visi mengenai
kehidupan, menjadi kunci.
(Sumber: Habibie, Bacharuddin
Jusuf. 2012. Habibie & Ainun. Jakarta: PT. THC Mandiri)
2.
Cinta yang
menghancurkan
JAKARTA – Kasus pembunuhan Ade Sara Angelina Suroto (19)
mahasiswi Universitas Bunda Mulia (UBM) sempat membuat heboh. Awalnya, mayat
Ade Sara yang ditemukan di Jalan Tol Bintara KM 41 Bekasi pada 5 Maret 2014
lalu tidak ditemukan identitas apapun.
Beruntung,
polisi bertindak cepat dengan hanya petunjuk gelang Java Jazz yang ada di
tangan Ade, pembunuhan sadis tersebut terbongkar. Hanya dalam waktu dua hari,
polisi berhasil membekuk tersangka pembunuhnya, yakni Ahmad Imam Al Hafitd
(19), dan Assyifa Ramadhani (18).
Hafitd
sendiri merupakan mantan pacar Ade Sara yang masih berharap kepada korban,
sedangkan Assyifa merupakan pacar Hafitd yang ikut membantu pembunuhan karena
khawatir pacarnya akan meninggalkan dirinya dan kembali ke Ade Sara.
Pembunuhan
yang diduga sudah direncanakan selama sepekan tersebut, berawal dari pertemuan
mereka di Stasiun Gondangdia. Assyifa yang masih teman SMA Ade Sara menghubungi
korban dengan dalih ingin ikut kursus bahasa Jerman.
Saat
itu, Ade Sara ditarik oleh Hafitd untuk masuk ke dalam mobilnya. Dalam
perjalanan, terjadi pertengkaran hebat antara Hafitd dengan korban. Ade Sara
juga disuruh membuka bajunya dengan maksud agar tidak kabur.
Selama
perjalanan, Ade Sara mendapat siksaan fisik mulai dari pukulan hingga disetrum
oleh tersangka hingga pingsan. Saat pingsan tersebut, Assyifa memasukan sobekan
kertas koran dan tisu hingga membunuh Ade Sara.
Karena
panik, akhirnya mereka membuang jenazah Ade Sara di jalan tol Bintara. Dalam
perjalanan tersebut, beberapa kali mobil Hafitd sempat mogok di jalan.
Keesokannya,
mayat Ade Sara ditemukan petugas jalan tol. Setelah diselidiki, akhirnya polisi
berhasil menangkap Hafitd saat sedang berada dirumah duka RSCM. Sedangkan
Assyifa ditangkap dirumahnya.
Nama :
Indri Nur Afdiyanti
NPM :
13215368
Kelas :
1EA05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar