Kamis, 24 Desember 2015

Pengaruh Kekuatan Cinta bagi Seseorang

Cinta, usia bukan sahabatnya, jenis kelamin bukan urusannya, semua orang dari segala zaman pernah merasakan cinta, baik itu cinta pada surya, pada yang mengandungmu, pada yang memberimu nafkah, pada dia pria terbaikmu atau pada dia wanita tercantikmu, pada sahabat karib, atau pada Ia sang pencipta.
Cinta itu bagai angin digeladak kapal, dapat dirasakan tapi tidak dapat dilihat, iya terkadang seperti mentari, menghangatkan namun juga dapat menyilaukan, setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai dan menggambarkan apa itu cinta, entah itu menyakitkan. Tapi, menurut ia yang dimabuk asmara cinta itu selembut sutera, entah itu seindah samudera tapi ternyata menghanyutkan.
Cinta bisa jatuh kepada siapa saja, bahkan teman dekat. Dia yang tidak pernah kau duga akan kau cinta. Saat mencintai kita hanya perlu memberi hati, tanpa perlu berharap lebih dari apa yang kita beri. Saat kita memilih cinta berarti kita harus menghargai apa yang disukai oleh orang yang kita cinta, meski kita tidak harus menyukai hal itu. Cinta mengajarkan seseorang bagaimana untuk memberanikan diri dan juga bagaimana menjadi sabar saat ditinggalkan sendiri. Cinta tidak akan pernah membiarkan hati yang utuh menjadi luka. Namun, saat cinta membuat patah hati, cinta terlihat begitu kejam dan menyakitkan.

Kekuatan cinta yang membangun dan menghancurkan seseorang :
1.    Cinta yang membangun

Kita pasti sudah mengenal sosok mantan Presiden RI ke-3 yang memiliki kisah cinta yang luar biasa, beliau adalah Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang sering kita kenal dengan sebutan B.J. Habibie. Kisah cinta beliau terhadap Ibu Ainun memberikan inspirasi bagi setiap orang. Mereka yang saling mencintai, menyanyangi, dan mengikrarkan janji suci sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. 
Bapak Habibie menulis surat cinta untuk istri tercinta setelah beliau meninggal. Ibu Ainun meninggal tepat sepuluh hari setelah merayakan ulang tahun perkawinannya yang ke-48. Ibu Ainun meninggal karena sakit kanker ovarium. Berikut isi surat cintanya:

Sebenarnya ini bukan tentang kematian, bukan itu. Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu. Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak ditempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi....
“Saya dilahirkan untuk Ainun dan Ainun dilahirkan untuk saya”
......Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada air mata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada, aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini. Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada. Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku, selamat jalan, calon bidadari surgaku....
            Sungguh romantis isi surat cinta tersebut. Surat itu menggambarkan kesedihan Bapak Habibie atas kepergian istri yang sangat ia cintai. Tidak ada lagi sosok wanita yang selalu mensupportnya, menemaninya, dan menjaganya. Semasa hidupnya Ibu Ainun tidak pernah mengeluh meski hidupnya susah, selalu mendampingi suami, bahkan rela meninggalkan profesinya sebagai dokter demi selalu berada disamping Bapak Habibie dan menjadi seorang  ibu dalam keluarga.
            Bapak Habibie mengakui, cintanya begitu besar kepada Ibu Ainun yang telah menemani hari-harinya selama 48 tahun 40 hari. Bahkan, sekalipun Ibu Ainun telah tiada, cintanya tidak pernah luntur. Salah satu kenangan yang tersimpan dari perjalanan bersama istrinya adalah sepenggal doa cinta. Berikut adalah penggalan doa tersebut:
“Terimakasih Allah, Engkau telah lahirkan saya untuk Ainun dan Ainun untuk saya. Terimakasih Allah, Engkau telah pertemukan saya dengan Ainun dan Ainun dengan saya. Terimakasih Allah, tanggal 12 Mei 1962, Engkau nikahkan saya dengan Ainun dan Ainun dengan saya. Engkau titipi kami bibit cinta murni, sejati, suci, sempurna dan abadi. Sepanjang masa kami sirami titipan-Mu dengan kasih sayang, nilai iman, takwa, dan budaya. Kini 48 tahun kemudian, bibit cinta telah menjadi cinta yang paling indah, sempurna dan abadi. Ainun dan saya bernaung dibawah cinta milik-Mu ini dan dipatri menjadi manunggal sepanjang masa. Manunggal dalam jiwa, hati, batin, napas dan semua yang menentukan dalam kehidupan. Terimakasih Allah, menjadikan kami manunggal karena cinta abadi yang suci dan sempurna. Pertahankan dan peliharalah kemanunggalan kami sepanjang masa. Berilah kami kekuatan untuk mengatasi segala permasalahan yang sedang dan masih akan kami hadapi. Ampunilah dosa kami dan lindungilah kami dari segala pencemaran cinta abadi kami.”
Kisah cerita ‘true story’ novel ini patut direkomendasikan menjadi sebuah inspirasi. Meski hanya memuat sekelumut kisah perjalanan rumah tangga Habibie dan Ainun, penonton justru bisa belajar banyak tentang arti cinta dari situ. Saling setia, percaya dan satu visi mengenai kehidupan, menjadi kunci.

(Sumber: Habibie, Bacharuddin Jusuf. 2012. Habibie & Ainun. Jakarta: PT. THC Mandiri)

2.    Cinta yang menghancurkan
JAKARTA – Kasus pembunuhan Ade Sara Angelina Suroto (19) mahasiswi Universitas Bunda Mulia (UBM) sempat membuat heboh. Awalnya, mayat Ade Sara yang ditemukan di Jalan Tol Bintara KM 41 Bekasi pada 5 Maret 2014 lalu tidak ditemukan identitas apapun.
Beruntung, polisi bertindak cepat dengan hanya petunjuk gelang Java Jazz yang ada di tangan Ade, pembunuhan sadis tersebut terbongkar. Hanya dalam waktu dua hari, polisi berhasil membekuk tersangka pembunuhnya, yakni Ahmad Imam Al Hafitd (19), dan Assyifa Ramadhani (18).
Hafitd sendiri merupakan mantan pacar Ade Sara yang masih berharap kepada korban, sedangkan Assyifa merupakan pacar Hafitd yang ikut membantu pembunuhan karena khawatir pacarnya akan meninggalkan dirinya dan kembali ke Ade Sara.
Pembunuhan yang diduga sudah direncanakan selama sepekan tersebut, berawal dari pertemuan mereka di Stasiun Gondangdia. Assyifa yang masih teman SMA Ade Sara menghubungi korban dengan dalih ingin ikut kursus bahasa Jerman.
Saat itu, Ade Sara ditarik oleh Hafitd untuk masuk ke dalam mobilnya. Dalam perjalanan, terjadi pertengkaran hebat antara Hafitd dengan korban. Ade Sara juga disuruh membuka bajunya dengan maksud agar tidak kabur.
Selama perjalanan, Ade Sara mendapat siksaan fisik mulai dari pukulan hingga disetrum oleh tersangka hingga pingsan. Saat pingsan tersebut, Assyifa memasukan sobekan kertas koran dan tisu hingga membunuh Ade Sara.
Karena panik, akhirnya mereka membuang jenazah Ade Sara di jalan tol Bintara. Dalam perjalanan tersebut, beberapa kali mobil Hafitd sempat mogok di jalan.
Keesokannya, mayat Ade Sara ditemukan petugas jalan tol. Setelah diselidiki, akhirnya polisi berhasil menangkap Hafitd saat sedang berada dirumah duka RSCM. Sedangkan Assyifa ditangkap dirumahnya.





Nama              : Indri Nur Afdiyanti
NPM               : 13215368
Kelas               : 1EA05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar